Kamis, 05 Januari 2012

Bangunlah Bidadariku

Bangunlah, Bidadariku… 
“Ummi,” panggilku kepada sosok yang terbaring lemah di rumah sakit itu, “besok Nadia akan menikah.”

Kulihat wajah pucat itu tak sedikitpun mengeluarkan ekspresi. Gurat di wajahnya menampakkan ia telah berjuang lama untuk tetap hidup. Matanya tetap terpejam rapat. Meskipun ummi sudah tak sadarkan diri sejak dua tahun yang lalu, tak sebentar pun aku lupa kehangatannya.

“Ummi,” panggilku lagi. Tak terasa air mataku mengalir. Aku ingin sekali ummi menyaksikan pernikahanku dengan Mas Ramli, tapi Allah tidak menghendakinya. Sekeras apapun aku berdoa, ummi tetap tak sadarkan diri. “Ummi…” aku berharap isakku bisa menyelam ke dalam hatinya, “Ummi, Nadia ingin seperti Ummi. Nadia juga punya mimpi yang sama, Mi. Nadia ingin menjadi seorang ibu dari mujahid-mujahidah yang luar biasa. Maafkan, Nadia, Mi…”

Sambil kulap badan ummi dengan handuk basah yang hangat, kuingat kembali peristiwa tragis di rumah kakek sore itu. Ummi yang menangkap adikku, si mungil Hasan, yang nyaris jatuh ke dalam sumur. Namun, malah ummi yang berbalik jatuh sehingga kepalanya terantuk dasar sumur yang saat itu airnya dangkal. Ummiku tak pernah sadar lagi setelah itu.

“Ummi, Nadia mencintaimu…” bisikku, “maafkan Nadia, Mi, tapi abi dan Mas Ramli sudah mendesak untuk segera menikah. Sebenarnya aku ingin Ummi juga datang…”

Bagaimanapun aku meminta, Ummi tetap damai dalam tidur panjangnya.
@@@

Sepekan setelah pernikahanku, Hasan yang sekarang sudah duduk di kelas dua SD membawa teman-temannya ke rumah. Aku agak kerepotan dibuatnya. Pekerjaanku di depan kompi belum juga kelar, tapi aku harus mengangkat jemuran karena awan mendung sudah menggelayut tebal.

Kulirik jam dinding di ruang tengah. Sudah pukul dua siang. Pasti abi sekarang sudah sampai di rumah sakit. Hari ini abi bilang akan mengajak ummi keluar rumah sakit dengan kursi roda. Meskipun mata itu tetap terpejam, kami sangat berharap bahwa ummi akan lebih segar dan semakin dekat dengan kepulihannya jika merasakan udara luar.

“Hasan, ajak teman-temanmu makan gih! Mbak udah masak nasi goreng kesukaanmu tuh,” pesanku pada adikku yang masih sangat lucu itu.

“Oke, Bos!” jawabnya senang tapi dia tidak segera bangkit depan lemari es seteleh minum, “Mbak, aku kangen banget sama ummi…”

Aku tersenyum haru. “Bersabarlah, De.”
@@@

Mas Ramli pulang membawa sekotak brownish cokelat. Hasan senang luar biasa dengan oleh-oleh itu. “Abi mana?” tanyanya.

“Tadi nelpon, katanya hari ini takkan pulang,” jawabku sambil membantunya melepas jas dan dasinya. Baru saja aku hendak ke dapur untuk mengambil segelas air putih atau secangkir cokelat hangat kesukaannya, dia menahan lenganku.

“Siapa yang paling berhak atas seorang wanita setelah Allah dan Rasul-Nya?” tanyanya tiba-tiba.

“Suaminya,” jawabku singkat meskipun merasa aneh juga mengapa ditanyakannya hal itu. Apa dia mau mengujiku?

“Siapa yang paling berhak atas seorang laki-laki setelah Allah dan Rasul-Nya?” tanyanya lagi.

Aku yang masih juga keheranan tetap menjawab, “Ibunya.”

“Kalau begitu, duduklah di sini. Aku ingin bicara,” pintanya. Aku pun tak jadi pergi ke dapur. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada nada yang sangat serius dari mulutnya. Aku siap mendengarkan.

“Ibuku memintaku pergi ke Solo selama satu bulan. Ada saudara sepupuku yang sedang membutuhkan bantuanku. Menurutmu apa yang harus kulakukan?”

“Pergilah,” jawabku singkat karena ingin menyembunyikan kesedihan. Betapa banyaknya amanah da’wahku akhir-akhir ini harus dikerjakan tanpa seorang partner. “Pergilah,” ulangku, “ta’ati perintah ibumu…”

“Aku tahu kamu akan mengizinkanku, tapi sebenarnya aku ingin membawamu ke sana juga.”

Aku mencoba merangkai kalimat, tapi tak bisa, “Mas, Nadia tahu bahwa Maslah yang paling berhak atas diri Nadia, tapi Nadia juga seorang anak sebelum Nadia menjadi seorang istri. Mengertilah, Mas…”

Akhirnya dia mengalah. Dia mengizinkanku untuk tinggal sementara dia akan pergi besok pagi. “Aku sebenarnya ingin kau menjadikan software itu proyek terakhirmu agar kau tidak terlalu lelah bekerja dan banyak berbekal untuk menjadi pendidik anak-anak kita nantinya.”

Aku senang dengan perhatiannya, tetapi bagaimanapun juga aku tak ingin meninggalkan amanahku di sana. “Aku belajar psikologi anak sejak Hasan lahir,” jawabku. Dia tersenyum paham. Bagiku, pengertiannya adalah peluangku untuk banyak bergerak.
@@@

Dinding serba putih itu terasa bergerak padahal tubuhku sangat lemas. Aku seakan setengah sadar melihat dan mendengar sesuatu. Tak utuh. Kepalaku terlalu berat rasanya untuk berpikir sejenak saja. Aku ingin tidur.

Aku merasa tanganku digenggam hangat oleh sebuah tangan yang kokoh. “Siapa? Abi? Ah, tidak mungkin. Tangan abi sudah tak sekokoh ini lagi. Mas Ramli? Bagaimana mungkin? Dia sedang ada di Solo…”

“Bangunlah, Bidadari… bangun…” panggil sebuah suara parau. Aku terlalu lemah untuk membuka mata. Aku hanya bisa mendengar permintaan itu samar-samar. Aku merasakan setetes air mengalir di tanganku yang digenggamnya.

“Siapakah yang sedang menangis ini? Apakah itu kamu, Mas?”
@@@

“Mbak, Hasan sudah boleh masuk rumah sakit. Hasan maksa abi buat masuk RS. Meskipun nyelinap sih, hehe. Mbak, bangun dong, Mbak! Bikinin Hasan nasi goreng lagi. Ga ada yang bisa nyamain nasi gorengnya Mbak…” ucap sebuah suara, “Hasan kangen, Mbak…”

Rasanya aku rindu dengan pemilik suara itu. Aku tak tahu siapa dia, tetapi suaranya benar-benar membuatku menyayanginya. Suara-suara itu tetap terdengar tak jelas, tapi aku berusaha untuk mendengarnya.

“Mau berapa lama lagi kamu tertidur di sini, Bidadariku? Mengapa tidak di sampingku saja? Mas benar-benar sudah pulang, sepupu Mas sudah punya usaha lain sekarang. Bangun, Sayang, apa yang harus kulakukan agar kau mau bangun?” terdengar senggukan kecil di sela ucapannya yang makin lama makin bergetar. Aku ingin membuka mataku, tapi tak bisa. Siapapun itu, aku ingin melihat pemilik suara itu, tapi mengapa aku tak juga bisa?
@@@

Aku merasa ada sesosok baru yang menjengukku dari sebelumnya. Dia mengelap badanku dengan handuk basah yang hangat. Aku tetap kaku.

“Kita memang ibu dan anak ya, Nad… dulu ummi begini, kamu yang ngurus ummi. Sekarang giliran kamu yang berbaring di sini, ummi akan selalu mengurus kamu. Maafkan ummi ya, Nak Bangunlah, Bidadariku…”

Suara itu… suara itu… aku berontak. Aku ingin bangun! Wahai tubuhku, aku ingin bangun! Wahai mata, terbukalah! Biarkan aku memeluk pemilik suara itu… biarkan aku bebas! Tangis ummi terdengar dan membuatku semakin meronta. Tanpa terasa air mataku mengalir. “Ummi…” panggilku.
@@@

Kubuka mataku pelan. Cahaya lampu terasa sangat menyakitkan mata saking silaunya. Seberkas bayangan ummi tersenyum, tetapi hanya terlihat sebentar karena aku kembali tertidur kelelahan.

Mas Ramli memberiku minum segelas air putih. Aku hanya bisa duduk pada posisi bersandar pada bahunya. “Ummi mana?” tanyaku.

“Ummi sedang beristirahat,” jawabnya sambil mengelus kepalaku. Aku tak ingat lagi sudah berapa lama aku di sini dan kenapa aku ada di sini. “Maafkan Mas, ya, Nad?”

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya…”

“Ah, Mas. Kalau begitu, Nadia harus lebih banyak lagi minta maaf sama Mas…”
@@@

Setibaku di rumah, aku bergegas masuk melalui pintu belakang karena aku tahu ummi sedang memasak di dapur. Belum juga aku masuk, tiba-tiba Hasan yang menyadari suaraku langsung mengahambur memeluk kakiku. Aku hanya bisa mencium dan membelainya tanpa bisa mengangkat tubuhnya.

“Hasan kangen, Mbak… Hasan kangen…,” air mata si kecil tak henti-hentinya mengalir. Aku pun jadi kesulitan memberhentikan dia menangis. Bahkan untuk melangkahkan kakiku, aku belum bisa. Dia benar-benar memelukku erat. Abi yang melihatnya membantuku melerai si bungsu. Aku hanya bisa menangis terharu. Namun, aku merasa ada yang tak wajar dari tangis Hasan. Begitupun dari sikap abi yang bukannya tersenyum dengan tingkah si kecil. Abi juga menangis.

“Mana ummi, Abi?’ aku bertanya galau, “kemarin-kemarin aku masih merasakan perawatannya…” Aku mulai panik dan berlari ke dapur. “Ummi… Ummi… Ummi!” panggilku.

“Mas, kamu bilang ummi sedang beristirahat, kan!? Mana ummi, Mas? Mana!?” protesku pada sosok yang mematung itu. Tiba-tiba Mas Ramli memelukku erat. Aku tak pernah merasa sesesak itu sebelumnya. Di balik punggungku aku merasa dia menangis. Menangis untuk apa?

Dia berusaha untuk bicara dalam sisa tenaganya, “Ummi baru saja diambil Pemiliknya saat kamu baru sadarkan diri…”

Badanku jatuh lunglai. Semua terasa gelap dan aku mulai tak sadarkan diri. “Bangunlah, Bidadariku…” kalimat itu terngiang di telingaku.

Smoga bermanfaat dan ambilah ibrahnya dari stiap artikl yg ana terbitkan tuk dijadikan renungan.........salam dan senyum santun ukhuah fillah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar